BAGYNEWS.COM - Isu mengenai pembubaran DPR kembali mencuat di ruang publik.
Tagar “bubarkan DPR” sempat ramai di media sosial, dipicu oleh sorotan publik terhadap besarnya gaji dan tunjangan anggota parlemen.
Wacana ini bahkan memicu aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, yang berlangsung belakangan ini.
Pertanyaan besar pun muncul, apakah benar presiden bisa membubarkan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
Berikut ini penjelasannya.
Konstitusi Tegas Melarang
Secara hukum, jawaban atas pertanyaan tersebut jelas presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7C UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang berbunyi: “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Artinya, DPR hanya bisa berhenti bekerja karena masa jabatannya berakhir, atau melalui mekanisme internal seperti pemberhentian anggota oleh partai politik sesuai aturan perundang-undangan.
Siapa yang Bisa Membubarkan DPR?
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tidak ada lembaga negara yang memiliki kewenangan membubarkan DPR. Masa jabatan DPR berakhir secara otomatis setelah lima tahun, bersamaan dengan berakhirnya periode presiden.
Jika terjadi masalah serius terkait fungsi atau kinerja DPR, mekanisme yang tersedia adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan memproses pelanggaran etik anggota DPR.
Pemilu berikutnya dilakukan sebagai sarana pergantian anggota DPR oleh rakyat. Dengan demikian, berbeda dari sistem parlementer di negara, seperti Inggris atau Jepang yang mana perdana menteri dapat membubarkan parlemen, di Indonesia pembubaran DPR tidak dapat dilakukan presiden maupun lembaga negara lainnya.
DPR hanya bisa berakhir karena masa jabatan selesai atau adanya perubahan UUD 1945 melalui mekanisme resmi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sejarah Upaya Pembubaran DPR
Meskipun konstitusi saat ini melarang, sejarah Indonesia pernah mencatat upaya presiden membubarkan DPR. Presiden Soekarno pada 1960 pernah membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 karena dianggap terlalu sering menolak kebijakan pemerintah. Ia kemudian membentuk DPR Gotong Royong melalui penetapan presiden.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengeluarkan Maklumat Presiden 23 Juli 2001 yang berisi pembekuan DPR dan MPR. Namun, langkah tersebut dinyatakan tidak sah. Justru MPR merespons dengan sidang istimewa yang berakhir pada pemakzulan dirinya sebagai presiden.
Dua peristiwa ini menjadi pengingat upaya membubarkan DPR di luar aturan konstitusi dapat memicu krisis politik dan berakhir dengan konsekuensi besar.
DPR dan Perannya dalam Demokrasi
Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki tiga fungsi utama sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD:
- Fungsi legislasi: Menyusun program legislasi nasional, membahas, dan menetapkan undang-undang bersama presiden.
- Fungsi anggaran: Membahas dan memberikan persetujuan terhadap APBN, serta mengawasi pengelolaan keuangan negara.
- Fungsi pengawasan: Mengawasi pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah.
Selain itu, DPR juga memiliki tugas menyerap aspirasi rakyat, memberikan persetujuan terkait pernyataan perang atau damai, hingga memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta hakim konstitusi.
Dalam sistem presidensial Indonesia, presiden dan DPR sama-sama dipilih langsung oleh rakyat sehingga keduanya memiliki legitimasi politik sendiri. Oleh karena itu, presiden membubarkan DPR tidaklah mungkin dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku.
DPR hanya bisa berakhir karena masa jabatan lima tahun telah selesai atau melalui mekanisme perubahan UUD 1945 yang diputuskan oleh MPR. Dengan demikian, meskipun isu pembubaran DPR sering mencuat dan ramai diperbincangkan, secara konstitusional presiden maupun lembaga lain tidak dapat membubarkan DPR. ()
sumber: beritasatu.com
© Bagynews.com. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex