Dunia / Kamis, 03 Juli 2025 20:04 WIB

Dirilis PBB, Ini Daftar Hitam Perusahaan-Perusahaan yang Bantu Operasi Militer Israel di Gaza, Ada Nama Chevron

BAGYNEWS.COM - Dunia maya dan ruang-ruang diskusi politik dihebohkan oleh laporan terbaru dari Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia. Laporan yang dipresentasikan di Kantor PBB di Jenewa, Swiss, Kamis 3 Juli 2025 ini bak petir di siang bolong.

Sebanyak 48 perusahaan global, termasuk raksasa teknologi asal AS, dituding terlibat dalam aksi pendudukan dan genosida Israel di Jalur Gaza.

Tak main-main, nama-nama beken seperti Microsoft, Alphabet Inc (perusahaan induk Google), dan Amazon ikut terseret. Mereka dituduh menjadi bagian tak terpisahkan dari operasi militer Israel yang, menurut laporan ini, jelas-jelas melanggar hukum internasional.

"Pendudukan abadi Israel telah menjadi ladang uji coba ideal bagi para produsen senjata dan perusahaan teknologi besar, dengan permintaan tinggi, minim pengawasan, dan tanpa akuntabilitas," demikian petikan laporan yang dilansir Al Jazeera itu.

Bahkan, nada laporan itu makin tajam: "Perusahaan-perusahaan ini tidak lagi sekadar terlibat dalam pendudukan, mereka kini menjadi bagian dari ekonomi genosida." Sebuah frasa yang mencengangkan, menunjuk pada serangan brutal Israel ke Gaza sejak Oktober 2023.

Teknologi dan Senjata dalam Pusaran Konflik

Laporan PBB ini merinci keterlibatan perusahaan-perusahaan di berbagai sektor. Program pengadaan jet tempur F-35 Israel yang digawangi Lockheed Martin ternyata melibatkan lebih dari 1.600 perusahaan dari delapan negara. Tak ketinggalan, Leonardo S.p.A dari Italia dan FANUC Corporation dari Jepang juga masuk daftar hitam karena mendukung produksi senjata.

Sektor teknologi pun tak kalah kotor. Microsoft, Amazon, dan Google dituding menyediakan akses luas ke teknologi cloud dan kecerdasan buatan (AI) yang memperkuat sistem pengawasan dan pengumpulan data biometrik terhadap warga Palestina. Bayangkan, teknologi canggih justru jadi alat opresi!

Lalu, ada IBM yang disebut-sebut melatih militer dan badan intelijen Israel, serta mengelola basis data biometrik milik otoritas imigrasi dan perbatasan mereka. Sedangkan Palantir Technologies, perusahaan teknologi AS lainnya, dicurigai menyuplai teknologi prediktif untuk operasi militer otomatis, termasuk sistem AI seperti Lavender, Gospel, dan Where's Daddy? yang jadi alat menyusun daftar target di medan perang. Ngeri, bukan?

Dari Alat Berat hingga Susu, Semua Terlibat?

Tak hanya sektor militer dan teknologi, PBB juga mencatat keterlibatan perusahaan sipil. Sebut saja Caterpillar, Volvo Group (Swedia), dan HD Hyundai (Korea Selatan) yang menyediakan alat berat untuk penghancuran rumah dan pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat.

Bahkan platform penyewaan akomodasi sejuta umat, Airbnb dan Booking.com, ikut terseret. Pasalnya, mereka masih mencantumkan properti di wilayah pendudukan yang jelas-jelas melanggar hukum internasional.

Di sektor energi, Drummond Company dari AS dan Glencore dari Swiss disebut sebagai pemasok utama batu bara untuk pembangkit listrik Israel. Lebih mengejutkan lagi, perusahaan susu asal China, Bright Dairy & Food, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh perusahaan makanan terbesar Israel, Tnuva, juga masuk daftar karena beroperasi di atas tanah Palestina. 

Dan jangan lupakan perusahaan irigasi Netafim, yang 80 persen sahamnya dimiliki Orbia Advance Corporation dari Meksiko, yang dituding menyediakan infrastruktur pengurasan sumber daya air di wilayah pendudukan.

Dalang di Balik Layar: Investor Raksasa AS

Laporan ini juga membongkar dalang di balik semua ini: dua investor besar asal AS, BlackRock dan Vanguard. Mereka adalah pendukung utama perusahaan-perusahaan yang disebut.

BlackRock tercatat sebagai investor besar di Palantir (8,6 persen), Microsoft (7,8 persen), Amazon (6,6 persen), Alphabet (6,6 persen), dan IBM (8,6 persen). Tak hanya itu, mereka juga punya saham signifikan di Lockheed Martin dan Caterpillar. Sementara Vanguard disebut sebagai investor terbesar di Caterpillar (9,8 persen), Chevron (8,9 persen), dan Palantir (9,1 persen), serta pemilik saham kedua terbesar di Lockheed Martin dan produsen senjata Israel, Elbit Systems. Sungguh jaringan yang rumit dan menggiurkan.

Ladang Keuntungan Baru?

Sejak perang di Gaza meletus, laporan ini menyimpulkan bahwa pendudukan Israel kini justru makin banyak didorong oleh apa yang disebut 'ekonomi genosida'. Buktinya? Anggaran militer Israel melonjak 65 persen antara 2023 dan 2024, mencapai US$46,5miliar. Bursa Efek Tel Aviv mengalami lonjakan hingga 179 persen, menambah nilai pasar sebesar US$157,9 miliar.

Bahkan perusahaan asuransi global sekelas Allianz dan AXA disebut-sebut berinvestasi besar dalam saham dan obligasi yang terkait dengan pendudukan Israel, baik sebagai cadangan modal maupun untuk meraup keuntungan. Bisnis di atas penderitaan, mirisnya.

Hukum yang tak Bisa Dielak

Albanese menegaskan, perusahaan swasta tak bisa seenaknya lepas dari kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia, sekalipun negara tempat mereka beroperasi gagal menegakkan hukum tersebut.

"Entitas korporat punya tanggung jawab untuk menilai dampak aktivitas dan hubungan bisnis mereka terhadap potensi pelanggaran HAM," bunyi laporan itu.

Jadi, jelas sudah. Laporan PBB ini bukan sekadar daftar nama, melainkan sebuah sorotan tajam pada jaringan kompleks bisnis dan kekerasan yang kini disebut sebagai 'ekonomi genosida'.

Akankah ada tindak lanjut serius dari temuan ini? Hanya waktu yang bisa menjawab. ()

Sumber: inilah

Dunia

© Bagynews.com. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex